Komunikasi Perspektif Islam
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Komunikasi Islam berfokus pada teori-teori komunikasi
yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan
komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif, terutama dalam menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah penciptaan
manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan dimensi penciptaan fitrah
kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia sejagat.
Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam merupakan proses penyampaian
atau tukar menukar informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi
dalam Alquran.
Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan
sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan
dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Alquran dan
Hadis. Teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan
aspek empirikal serta mengabaikan aspek normatif dan historikal. Adapun teori
yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat bersifat premature
universalism. Dalam konteks demikian Majid Tehranian,
menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama implikasinya dalam konteks
kehidupan komunitas lain yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga
dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic
world-view yang selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam
seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik Allah, serta peranan institusi ulama
dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang
menjadi penunjang kehidupan Muslim.
B.
Rumusan Masalah
Untuk
memperjelas apa yang ingin dibahas oleh penulis, maka penulis merumuskan
beberapa permasalahan, yaitu sebagai berikut:
1. Komunikasi
Perspektif Islam dari berbagai sumber.
2.
Komunikasi Islam.
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Untuk
memberikan informasi mengenai “Komunikasi
Perspektif Islam”
2.
Untuk
memenuhi salah satu tugas di mata kuliah Islam dan Disiplin Ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
The ESQ Way 165
(Agutian, Ary Ginanjar,
The ESQ Way 165, Jakarta: Arga Publishing, 2010)
GINANJAR DAN ESQ WAY 165
Dalam buku ESQ, Ari Ginanjar merumuskan ihsan, rukun iman
dan rukun Islam dengan “ESQ way 165″. Simbol 165 merupakan jabaran dari 1
ihsan, 6 rukun iman dan 5 rukun Islam. Berikut ini akan kami coba menerangkan
bagaimana Ari Ginanjar merumuskan rumusan “ESQ way 165″.
1.
Zero
Mind Process (ZMP) atau Penjernihan Emosi
Ari
Ginanjar ketika menerangkan bagaimana rumusan 1 ihsan, ia menggunakan bahasanya
sendiri yakni zero mind process (proses penjernihan emosi). Dalam upaya untuk
melakukan penjernihan emosi, Ari Ginanjar mengungkapkan dengan tujuh langkah
yang dapat dilakukan untuk menuju sebuah kejernihan emosi yaitu antara lain:
a.
Hindari
selalu berprasangka buruk, upayakan berprasangka baik terhadap orang.
b.
Berprinsiplah selalu kepada Allah yang Maha
Abadi.
c.
Bebaskan
diri dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran,
berpikirlah
merdeka.
d.
Dengarlah
suara hati, berpeganglah prinsip karena Allah, berpikirlah
melingkar sebelum
menentukan kepentingan dan prioritas.
e.
Lihatlah
semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara hati
yang bersumber dari
asmaul husna.
f.
Periksa
pikiran anda terlebih dahulu sebelum menilai segala sesuatu,
jangan melihat
sesuatu karena pikiran anda tetapi lihatlah sesuatu karena
apa adanya.
g.
Ingatlah
bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Allah.
Hasil akhir dari zero mind process atau penjernihan emosi
adalah seseorang yang telah terbebas dari belenggu prasangka negatif,
prinsip-prinsip hidup yang menyesatkan, pengalaman yang memengaruhi pikiran,
egoisme kepentingan dan prioritas, pembanding-pembanding yang subjektif, dan
terbebas dari pengaruh belenggu literatur-literatur yang menyesatkan. Pemaknaan
ihsan seperti ini jelas berbeda dengan seperti pemaknaan yang telah dikenal
sebelumnya. Karena makna ihsan yang dikenal sebelumnya merupakan bentuk ibadah
yang kita lakukan sepenuhnya diperhatikan oleh Allah dan Allah akan selalu
mengawasi kita di manapun kita berada. Rumusan Ari Ginanjar tentang ihsan ini
merupakan rumusan prinsip dari makna ihsan dihubungkan dengan realita kehidupan
masyarakat yang ada.
2.
Enam
Asas Pembangunan Mental
Langkah selanjutnya untuk menjadi seorang yang paripurna
atau sempurna melalui ESQ menurut Ari Ginanjar adalah dengan melakukan enam
asas pembangunan mental. enam asas ini merupakan pemaknaan dari enam rukun iman
yang merupakan bagian dari ajaran Islam. enam asas pembangunan mental tersebut
antara lain:
a.
Prinsip
Bintang (Iman Kepada Allah)
Asas
yang pertama ini merupakan penjabaran dari makna iman kepada Allah dalam rukun
iman. Menurut Ari Ginanjar, prinsip seorang bintang adalah memiliki rasa aman
intrinsik, kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, bersikap
bijaksana, dan memiliki motivasi yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun
karena iman kepada Allah. Penjelasan ini merupakan didasarkan kepada prinsip
makna iman kepada Allah dengan dihubungkan dengan realita yang ada sehingga
makna iman kepada Allah menjadi hidup dalam kehidupan manusia.
b.
Prinsip
Malaikat (Iman Kepada Malaikat)
Asas
yang kedua ini merupakan penjabaran dari makna iman kepada malaikat dalam rukun
iman. Menurut Ari Ginanjar, orang yang berprinsip seperti malaikat akan
menghasil orang yang sebagai berikut yakni seseorang yang memiliki tingkat
loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebisaaan untuk mengawali dan
memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. Dengan demikian, Ari
Ginanjar menyatakan bahwa untuk menjadi seorang seperti malaikat, maka dia harus
bisa mempraktikkan kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat punya di dalam
kehidupan sehingga orang tersebut akan menjadi manusia yang paripurna.
c.
Prinsip
Kepemimpinan (Iman Kepada Rasul Allah)
Asas
yang ketiga ini merupakan makna penjabaran dari iman kepada rasul atau utusan
Allah dalam rukun iman. Pemimpin sejati menurut Ari Ginanjar adalah seorang
yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain sehingga ia
dicintai. Memiliki integritas yang kuat sehingga ia dipercaya oleh pengikutnya.
Selalu membimbing dan mempelajari pengikutnya. Memiliki kepribadian yang kuat
dan konsisten. Memimpin berdasarkan atas suara hati yang fitrah. Dengan
meneladani sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita memiliki prinsip
kepemimpinan yang menentramkan masyarakat.
d.
Prinsip
Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah)
Asas
yang keempat ini merupakan makna penjabaran dari iman kepada kitab-kitab Allah
dalam rukun iman. Menurut Ari Ginanjar, hasil dari proses pembelajaran antara
lain:
• Memiliki
kebisaaan membaca buku dan situasi dengan cermat.
• Selalu berpikir
kritis dan mendalam.
• Selalu
mengevaluasi pemikirannya kembali.
• Bersikap terbuka
untuk mengadakan penyempurnaan.
• Memiliki pedoman
yang kuat dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah.
Hasil
dari proses pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan
konteks yang harus dilakukan oleh semua orang dalam mempraktekkan iman kepada
kitab-kitab Allah, sehingga kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam
kehidupan manusia.
e.
Prinsip
Visi ke Depan (Iman Kepada Hari Akhir)
Asas
yang kelima ini merupakan makna penjabaran dari iman kepada hari akhir (kiamat)
dalam rukun iman. Hasil dari prinsip masa depan menurut Ari Ginanjar yakni
selalu berorientasi kepada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat,
melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali
diri dan sosial karena telah memiliki kesadaran akan adanya hari kemudian,
memiliki kepastian akan masa depan dan memiliki ketenangan batiniah yang tinggi
yang tercipta oleh keyakinannya akan adanya hari pembalasan.
Dengan
kesadaran visi akan hari akhir tersebut, akan mendorong manusia terus berbuat
dan berjuang dengan sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat tanpa perlu
diri merasa berhenti.
f.
Prinsip
Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar)
Asas
yang keenam ini merupakan penjabaran dari iman kepada qadha dan qadar dalam
rukun iman. Menurut Ari Ginanjar, hasil dari prinsip keteraturan akan memiliki
kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan
kepastian hukum alam dan hukum sosial, memahami akan arti penting sebuah proses
yang harus dilalui, selalu berorientasi kepada pembentukan sistem dan selalu
berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh
orang yang menjalankan prinsip keteraturan, sehingga hidupnya menjadi lebih
bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada keteraturannya dari Allah.
3.
Lima
Prinsip Ketangguhan
Setelah
melakukan enam asas pembentukan mental, langkah selanjutnya untuk menjadi
manusia yang paripurna menurut ESQ Ari Ginanjar yakni dengan melakukan lima
prinsip ketangguhan. lima Prinsip Ketangguhan ini merupakan penjabaran makna
dari lima rukun Iman yang ada dalam ajaran Islam. Ari Ginanjar membagi lima
prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian yakni tiga prinsip ketangguhan
pribadi dan dua prinsip ketangguhan sosial.
a.
Tiga
Prinsip Ketangguhan Pribadi
Menurut Ari Ginanjar, ketengguhan pribadi adalah
seseorang yang telah memiliki prinsip Enam asas pembentukan mental. Kemudian
untuk menjadi pribadi yang sukses, ditambah dengan tiga langkah sukses yaitu:
1)
Prinsip
Penetapan Misi (Syahadat)
2)
Prinsip
Pembangunan Karakter (Shalat)
3)
Prinsip
Pengendalian Diri (Puasa)
Ari
Ginanjar mengungkapkan, bahwa hasil pengendalian diri puasa untuk meraih
kemerdekaan sejati dan pembebasan belenggu nafsu yang tisak terkendali. Puasa
yang baik akan memelihara aset kita yang paling berharga yakni fitrah
diri. Tujuan puasa lainnya untuk mengendalikan suasana hati.
b.
Dua
Prinsip Ketangguhan Sosial
Setelah
Ari Ginanjar membahas tiga prinsip ketangguhan pribadi, dia menjelaskan bahwa
untuk menjadi manusia sempurna secara kecerdasan emosi dan spiritual juga
membutuhkan kepada sosial. Oleh karena itu, untuk melengkapi ketangguhan diri
perlu adanya ketangguhan sosial. Maka dari itu, Ari Ginanjar membagi dua
prinsip ketangguhan sosial yang merupakan penjabaran dari prinsip zakat dan
haji di dalam rukun Islam.
1)
Prinsip
Stategi Kolaborasi (Zakat)
2)
Prinsip
Aplikasi Total (Haji)
4.
Komunikasi Islam
Komunikasi
Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam penelitian
akademik sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme
komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan
komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis
serta penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan tersebut menimbulkan
implikasi negatif terutama terhadap komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia
akibat perbedaan agama, budaya dan gaya hidup dari negara-negara (Barat) yang
menjadi produsen ilmu tersebut.
Ilmu
komunikasi Islam yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini terutama
menyangkut teori dan prinsip-prinsip komunikasi Islam, serta pendekatan Islam
tentang komunikasi. Titik penting munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai
komunikasi Islam ditandai dengan terbitnya jurnal “Media, Culture and Society”
pada bulan Januari 1993 di London. Ini semakin menunjukkan jati diri komunikasi
Islam yang tengah mendapat perhatian dan sorotan masyarakat tidak saja di
belahan negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Isu-isu
yang dikembangkan dalam jurnal tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang
meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era
pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta
perspektif politik terhadap Islam dan komunikasi.
Komunikasi
Islam berfokus pada teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh para pemikir
Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi
alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi
dengan dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap
kesejahteraan manusia sejagat. Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam
merupakan proses penyampaian atau tukar menukar informasi yang menggunakan
prinsip dan kaedah komunikasi dalam Alquran.
Komunikasi
Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai
Islam dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan prinsip-prinsip
komunikasi yang sesuai dengan Alquran dan Hadis. Teori-teori komunikasi yang
dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan
aspek normatif dan historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan
seperti ini sangat bersifat premature universalism. Dalam konteks
demikian Majid Tehranian, menguraikan bahwa pendekatan ini tidak
sama implikasinya dalam konteks kehidupan komunitas lain yang memiliki latar
belakang yang berbeda. Sehingga dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah
dikembangkan melalui Islamic world-view yang selanjutnya menjadi azas
pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik
Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi
dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim.
Dalam
aspek perubahan sosial dan pembangunan masyarakat, komunikasi Barat cenderung
bersifat positivistik dan fungsional yang berorientasi kepada individu, bukan
kepada keselurusan sistem sosial dan fungsi sosiobudaya yang sangat penting
untuk merangsang terjadinya perubahan sosial. Kualitas komunikasi menyangkut
nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas,
keadilan, kesahihan pesan dan sumber, menjadi aspek penting dalam komunikasi
Islam. Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam ditegakkan atas
sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara “Allah,
manusia dan masyarakat.”
Dalam Islam prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat value-free, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Alquran menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi.
Di samping menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi fairness (kejujuran), accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggungjawab dan kritik konstruktif. Dalam surah an-Nuur ayat 19 dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”
Dalam Islam prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat value-free, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Alquran menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi.
Di samping menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi fairness (kejujuran), accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggungjawab dan kritik konstruktif. Dalam surah an-Nuur ayat 19 dikatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”
Sehubungan
dengan etika kejujuran dalam komunikasi, ayat-ayat Alquran memberi banyak
landasan. Hal ini diungkapkan dengan adanya larangan berdusta dalam surah
an-Nahl ayat 116: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang
disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”
Dalam
masalah ketelitian menerima informasi, Alquran misalnya memerintahkan untuk melakukan
check and recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam surah al-Hujurat ayat
6 dikatakan: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Menyangkut
masalah tanggungjawab dalam surah al-Isra’ ayat 36 dijelaskan: “Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawab-nya.” Alquran juga menyediakan ruangan yang cukup banyak dalam
menjelaskan etika kritik konstruktif dalam berkomunikasi. Salah satunya
tercantum dalam surah Ali Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.”
Begitu
juga menyangkut isi pesan komunikasi harus berorientasi pada kesejahteraan di
dunia dan akhirat, sebagaimana dijelaskan dalam sural al-Baqarah ayat 201: “Dan
di antara mereka ada orang yang mendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan
di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.”
Selain
itu, prinsip komunikasi Islam menekankan keadilan (‘adl) sebagaimana tertera
dalam surah an-Nahl ayat 90, berbuat baik (ihsan) dalam surah Yunus ayat 26,
melarang perkataan bohong dalam surah al-Hajj ayat 30, bersikap pertengahan
(qana’ah) seperti tidak tamak, sabar sebagaimana dijelaskan pada surah
al-Baqarah ayat 153, tawadu’ dalam surah al-Furqan ayat 63, menunaikan janji
dalam surah al-Isra’ ayat 34 dan seterusnya.
5.
Kecerdasan Spiritual Ary Ginanjar dalamPerspektif Komunikasi
Islam
(Analisis Dakwah, Komunikasi Budaya dan
Politik)
Analisis Dakwah, Konsep ESQ ini semacam upaya mengangkat
citra Islam dengan bukti bukti sains dan temuan modern. Dalam versi pelatihan
pelatihan, ESQ banyak mengemukakan bukti bukti penemuan modern yang semakin
menunjukkan kebenaran Allah Ta’ala sebagai Rabb alam semesta. Dari sisi dakwah
Islam, ini merupakan cara yang kuat untuk menyebarkan dan mengenalkan bahwa
islam ternyata bukan agama yang konservatif tapi bisa maju dan tidak pernah
ketinggalan dalam hal teknologi.
Analisis Komunikasi Budaya, Dalam Buku ESQ Ary Ginanjar tidak ada satu unsur pun yang men-dikotomi komunikator (dalam hal ini pembaca) antara muslim dan non muslim. Bahkan pelatihan-pelatihan ESQ itu sendiri diikuti oleh masyarakat muslim dan non muslim. Dalam hal ini, memang tidak ada larangan oleh penggagas atau justifikasi tegas bahwa ESQ adalah konsumsi muslim saja. Ini menunjukkan adanya komuniksi budaya yang baik antara muslim dan non muslim yang dibangun oleh Ary Ginanjar. Komunikasi budaya ini tidak memandang atau terlepas dari sesat dan tidak sesatnya ESQ tersebut.
Analisis Komunikasi Budaya, Dalam Buku ESQ Ary Ginanjar tidak ada satu unsur pun yang men-dikotomi komunikator (dalam hal ini pembaca) antara muslim dan non muslim. Bahkan pelatihan-pelatihan ESQ itu sendiri diikuti oleh masyarakat muslim dan non muslim. Dalam hal ini, memang tidak ada larangan oleh penggagas atau justifikasi tegas bahwa ESQ adalah konsumsi muslim saja. Ini menunjukkan adanya komuniksi budaya yang baik antara muslim dan non muslim yang dibangun oleh Ary Ginanjar. Komunikasi budaya ini tidak memandang atau terlepas dari sesat dan tidak sesatnya ESQ tersebut.
Analisis
Politik, Banyaknya keragaman sumber referensi yang diambil dalam merumuskan ESQ
membuat sebuah karya ilmiah tersebut semakin berbobot. Tetapi dalam konteks
buku ESQ Ary Ginanjar ini ada tiga hal yang bisa kami temukan. Pertama, sumber
sumber informasi yang dikutip seluruhnya bersifat mendukung konsep ESQ,
sehingga ia tampak seperti upaya “penggalangan.” Kedua, dalam buku ESQ sedikit
mengandung unsur dialog, sehingga terkesan sangat “searah.” Ketiga, kuatnya
dominasi pandangan pakar psikologi Barat popular. Dalam buku ESQ pandangan
pakar psikologi Barat sangat kuat, sedangkan referensi Islam dipakai sebagai
pelengkap saja. Sehingga nampak dengan jelas bahwa ada sinkritisme
spiritual intelligence antara pemikir Barat dan Islam.
Comments
Post a Comment