Lanjutan Komunikasi Perspektif Islam

B.        Etika Komunikasi dalam Perspektif Islam
(Saefullah, Ujang. 2007. Kapita Selekta Komunikasi, Pendekatan Budaya dan Agama.)
Dalam persperktif Islam, komunikasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia karena segala gerak langkah kita selalu disertai dengan komunikasi. Komunikasi yang dimaksud adalah komunikasi yang islami, yaitu komunikasi yang berakhlak al-karimah atau beretika. Komunikasi yang berakhlak al-karimah berarti komunikasi yang bersumber kepada Al-Qur’an dan hadits. A. Muis (2001:720) mengatakan komunikasi islami memiliki perbedaan dengan non-islami. Perbedaan itu lebih pada isi pesan (content) komunikasi yang harus terikat perintah agama, dan dengan sendirinya pula unsur content mengikat unsure komunikator. Artinya, komunikator harus memiliki dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menyampaikan pesan berbicara, berpidato, berkhotbah, berceramah, menyiarkan berita, menulis artikel, mewawancarai, mengkritik, melukis, menyanyi, bermain film, bermain sandiwara di panggung pertunjukan, menari, berolahraga, dan sebagainya.
Kemudian, seorang komunikator tidak boleh menggunakan simbol-simbol atau kata-kata yang kasar, yang menyinggung perasaan komunikan atau khalayak, juga tidak boleh memperlihatkan gerak-gerik, perilaku, cara pakaian yang menyalahi kaidah-kaidah agama.
Untuk lebih jelasnya, dapat ditemukan beberapa prinsip etika komunikasi dalam Al-Qur’an dan hadits, antara lain:
·       …. dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (QS. Al-Baqarah: 83)
·       Perkataan yang baik dan pemberi maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi  dengan sesuatu yang menyakitkan perasaan (QS. Al-Baqarah: 263).
·        .…sekiranya kamu bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu…. (QS. Ali Imran: 154).
·       Allah tidak menyukai ucapan yang buruk (yang diucapkan) terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya (QS. An-Nisaa: 154).
·       Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut…. (QS. Thaahaa: 44).
·       Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku supaya mereka mengucapkan erkataan yang baik (benar) (QS. An-Nahl: 53).
·       Serukanlah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula (QS. An-Nahl: 125).
·        Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu menyatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar murka Allah apabila kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS. An-Naba’: 2-3).
·       Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahat menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung keislaman) (QS. Al-Furqaan: 63).
·       Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang yang lain di antara mereka (QS. Al-‘Ankabuut: 460).
Di dalam hadits Nabi juga, ditemukan prinsip-prinsip etika komunikasi, bagaimana Rasulullah saw mengajarkan berkomunikasi kepada kita. Sabda Nabi bisa ditafsirkan bahwa dalam berkomunikasi hendaklah bersikap jujur, terbuka dan benar, walau dalam penyampaian kebenaran itu penuh risiko.  Pembicaraan kita juga hendaklah yang baik dan benar sehingga bermanfaat bagi yang lain. Kalau tidak bermanfaat, diam adalah alternatif yang terbaik.
Selanjutnya, janganlah berbicara sebelum berpikir terlebih dahulu, artinya apabila kita ingin berkomunikasi dengan orang lain, tidak asal berbicara, harus berhati-hati dan memiliki manfaat bagi orang lain. Nabi juga menganjurkan berbicara yang baik-baik saja, dalam konteks ini Nabi mengingatkan kepada kita untuk tidak membicarakan aib orang lain di saat dia tidak ada di hadapan kita.
Nabi berpesan “Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang….yaitu mereka yang menjungkir balikkan (fakta) dengan lidahnya seperti seekor sapi yang mengunyah-ngunyah rumput dengan lidahnya. Pesan Nabi saw tersebut bermakna luas bahwa dalam berkomunikasi hendaklah sesuai dengan fakta yang kita lihat, kita dengar, dan kita alami. Jangan sekali-kali berbicara memutarbalikan fakta, yang benar dikatakan salah dan yang salah dikatakan benar. Bila ini terjadi, kita telah melakukan kebohongan besar, dan pantas disebut sangat tidak bermoral. Selain tidak etis dalam berkomunikasi, juga telah berbuat dosa besar.
Prinsip-prinsip etika tersebut, sesungguhnya dapat dijadikan landasan bagi setiap muslim – ketika melakukan proses komunikasi, baik dalam pergaulan sehari-hari, berdakwah, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Prinsip ini juga dapat membantu memelihara hubungan yang harmonis di antara sesama kita. Membangun komunitas sosial yang damai, tenteram dan sejahtera sehingga terbentuk peradaban manusia yang tinggi.
Etika Komunikasi Dalam Al-Quran dan Hadits
Menurut A. Samover “ We Cannot Not Communicate” oleh karena itu,manusia tidak dapat terhindar dalam interaksi sesamanya. Soal cara (kaifiyah), dalam Al-Quran dan Al-Hadits ditemukan berbagai panduan agar komunikasi berjalan dengan baik dan efektif. Kita dapat mengistilahkannya sebagai kaidah, prinsip, atau etika berkomunikasi dalam perspektif Islam.
Kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam ini merupakan panduan bagi kaum muslim dalam melakukan komunikasi, baik dalam komunikasi intrapersonal, interpersonal dalam pergaulan sehari hari, berdakwah secara lisan dan tulisan, maupun dalam aktivitas lain.
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni :
1.        Qaulan Sadida
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. 4:9)
Sadied menurut bahasa berarti yang benar, tepat. Al-Qosyani menafsirkan Qaulan Sadida dengan : kata yang lurus (qowiman); kata yang benar (Haqqan); kata yang betul, correct,tepat (Shawaban). Al-Qasyani berkata bahwa sadad dalam dalam pembicaraan berarti berkata dengan kejujuran dan dengan kebenaran dari situlah terletak unsur segala kebahagiaan, dan pangkal dari segala kesempurnaan; karena yang demikian itu berasal dari kemurnian hati. Dalam lisanul A’rab Ibnu Manzur berkata bahwa kata sadied yang dihubungkan dengan qaul (perkataan) mengandung arti sebagai sasaran.
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas, dapatlah dikatakan bahwa yang dihubungkan dengan kegiatan penyampaian pesan dakwah adalah model dari pendekatan bahasa dakwah yang bernuansa persuasife. Moh. Natsir dalam Fiqhud dakwahnya mengatakan bahwa, Qaulan Sadida adalah  perkataan lurus (tidak berbeli-belit), kata yang benar,keluar dari hati yang suci bersih, dan diucapkan dengan cara demikian rupa, sehingga tepat mengenai sasaran yang dituju yakni sehingga panggilan dapat sampai mengetuk pintu akal dan hati mereka yang di hadapi.
Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku. Dari segi redaksi, komunikasi Islam harus menggunakan kata-kata yang baik dan benar, baku, sesuai kadiah bahasa yang berlaku.
Seorang muslim berkata harus benar, jujur tidak berdusta. Karena sekali kita berkata dusta, selanjutnya kita akan berdusta untuk menutupi dusta kita yang pertama, begitu seterusnya, sehingga bibir kita pun selalu berbohong tanpa merasa berdosa. Siapapun tak ingin dibohongi, seorang istri akan sangat sakit hatinya bila ketahuan suaminya berbohong, begitu juga sebaliknya. Rakyat pun akan murka bila dibohongi pemimpinnya. Juga tidak kalah penting dalam menyampaikan kebenaran, adalah keberanian untuk bicara tegas, jangan ragu dan takut, apalagi jelas dasar hukumnya yaitu  Al Quran dan hadits.
 “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30).
“Hendaklah kamu berpegang pada kebenaran (shidqi) karena sesungguhnya kebenaran itu memimpin kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
“Katakanlah kebenaran walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).
 “Dan berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik” (QS. Al-Baqarah:83).
“Sesungguhnya segala persoalan itu berjalan menurut ketentuan” (H.R. Ibnu Asakir dari Abdullah bin Basri).
2.        Qaulan Baligha (Perkataan Yang Membekas Pada Jiwa)
Ungkapan qaulan baligha terdapat pada surah an-Nisa ayat 63
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-Nissa :63).
Jalaluddin Rahmat memerinci pengertian qaulan baligha menjadi dua,qaulan balighaterjadi bila da’i (komunikator) menyesuaian pembicaraannya dengan sifat-sifat khalayak yang dihadapinya sesuai dengan frame of reference and field of experience. Kedua,qaulan baligha terjadi bila komunikator menyentuh khalayaknya pada hati dan otaknya sekaligus.
Jika dicermati pengertian qaulan baligha yang diungkapkan oleh jalaluddin rahmat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kata Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka.
Sebagai orang yang bijak bila berdakwah kita harus melihat stuasi dan kondisi yang tepat dan menyampaikan dengan kata-kata yang tepat. Bila bicara dengan anak-anak kita harus berkata sesuai dengan pikiran mereka, bila dengan remaja kita harus mengerti dunia mereka. Jangan sampai kita berdakwah tentang teknologi nuklir dihadapan jamaah yang berusia lanjut  yang tentu sangat tidak tepat sasaran, malah membuat mereka semakin bingung..Gaya bicara dan pilihan kata dalam berkomunikasi dengan orang awam tentu harus dibedakan dengan saat berkomunikasi dengan kalangan cendekiawan. Berbicara di depan anak TK tentu harus tidak sama dengan saat berbicara di depan mahasiswa. Dalam konteks akademis, kita dituntut menggunakan bahasa akademis. Saat berkomunikasi di media massa, gunakanlah bahasa jurnalistik sebagai bahasa komunikasi massa (language of mass communication).
“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka”(H.R. Muslim).
”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa kaumnya”(QS.Ibrahim:4).
3.        Qaulan Ma’rufa (Perkataan Yang Baik)
Jalaluddin rahmat menjelaskan bahwa qaulan ma’rufan adalah perkataan yang baik. Allah menggunakan frase ini ketika berbicara tentang kewajiban orang-orang kaya atau kuat terhadap orang-orang miskin atau lemah.qaulan ma’rufan berarti pembicaraan yang bermamfaat memberikan pengetahuan, mencerahkan pemikiran, menunjukan pemecahan terhadap kesulitan kepada orang lemah, jika kita tidak dapat membantu secara material, kita harus dapat membantu psikologi.
Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat). Sebagai muslim yang beriman,perkataan kita harus terjaga dari perkataan yang sia-sia, apapun yang kita ucapkan harus selalu mengandung nasehat, menyejukkan hati bagi orang yang mendengarnya. Jangan sampai kita hanya mencari-cari kejelekan orang lain, yang hanya bisa mengkritik atau mencari kesalahan orang lain, memfitnah dan menghasut.
Kata Qaulan Ma`rufa disebutkan Allah dalam QS An-Nissa ayat 5 dan 8, QS. Al-Baqarah ayat 235 dan 263, serta Al-Ahzab ayat 32.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya[268], harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).
“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-Ahzab: 32).
4.        Qaulan Karima (Perkataan Yang Mulia)
                  “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).
Dakwah dengan qaulan karima  adalah orang yang telah lanjut usia,pendekatan yang digunakan adalah dengan perkataan yang mulia, santun penuh penghormatan dan penghargaan tidak menggurui tidak perlu retorika yang meledak-ledak. Term qaulan karima terdapat dalam surat al-isra ayat 23.
Dalam perspektif dakwah maka term pergaulan qaulan karima diperlakukan jika dakwah itu ditujukan kepada kelompok orang yang sudah masuk kategori usia lanjut. Seseorang da’i dalam perhubungan dengan lapisan mad’u yang sudah masuk kategori usia lanjut, haruslah bersikap seperti terhadap orang tua sendiri,yankni hormat dan tidak kasar kepadanya,karena manusia meskipun telah mencapai usia lanjut,bisa saja berbuat salah atau melakukan hal-hal yang sasat menurutukuran agama. Dengan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa qaulan karimah adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama.
Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis.
5.        Qaulan Layyinan (Perkataan Yang Lembut)
Term qaulan layyinan tardapat dalam surah Thaha ayat 43-44 secara harfiah berarti komunikasi yang lemah lembut (layyin)
 “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-lembut…” (QS. Thaha: 44).
Dari ayat tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati maksudnya tidak mengeraskan suara, seperti membentak, meninggikan suara. Siapapun tidak suka bila berbicara dengan orang-orang yang kasar. Rasullulah selalu bertuturkata dengan lemah lembut, hingga setiap kata yang beliau ucapkan sangat menyentuh hati siapapun yang mendengarnya.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar.
Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Allah melarang bersikap keras dan kasar dalam berdakwah, karena kekerasan akan mengakibatkan dakwah tidak akan berhasil malah ummat akan menjauh. Dalam berdoa pun Allah memerintahkan agar kita memohon dengan lemah lembut, “Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lemahlembut, sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” (Al A’raaf ayat 55)
6.   Qaulan Maisura (Perkataan Yang Ringan)
”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS. Al-Isra: 28).
Istilah Qaulan Maisura tersebut dalam Al-Isra. Kalimat maisura berasal dari kata yasr, yang artinya mudah. Qaulan maisura adalah lawan dari kata ma’sura, perkataan yang sulit. Sebagai bahasa Komunikasi, qaulan maisura artinya perkataan yang mudah diterima, dan ringan, yang pantas, yang tidak berliku-liku. Dakwah dengan qaulan maisura yang artinya pesan yang disampaikan itu sederhana, mudah dimengerti dan dapat dipahami secara spontan tanpa harus berpikir dua kali. Pesan dakwah model ini tidak memerlukan dalil naqli maupun argument-argumen logika.
Dakwah dengan pendekatan Qaulan Maisura harus menjadi pertimbangan mad’u yang dihadapi itu terdiri dari:
·  Orang tua atau kelompok orang tua yang merasa dituakan, yang sedang menjalani kesedihan lantaran kurang bijaknya perlakuan anak terhadap orang tuanya atau oleh kelompok yang lebih muda.
·  Orang yang tergolong didzalimi haknya oleh orang-orang yang lebih kuat.
·  Masyarakat yang secara sosial berada dibawah garis kemiskinan,   lapisan masyarakat tersebut sangat peka dengan nasihat yang panjang, karenanya da’i harus memberikan solusi dengan membantu mereka dalam dakwah bil hal.
B.        Komunikasi Islam
(Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos, 1999.)
Komunikasi Islam merupakan bentuk frasa dan pemikiran yang baru muncul dalam penelitian akademik sekitar tiga dekade belakangan ini. Munculnya pemikiran dan aktivisme komunikasi Islam didasarkan pada kegagalan falsafah, paradigma dan pelaksanaan komunikasi Barat yang lebih mengoptimalkan nilai-nilai pragmatis, materialistis serta penggunaan media secara kapitalis. Kegagalan tersebut menimbulkan implikasi negative terutama terhadap komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia akibat perbedaan agama, budaya dan gaya hidup dari negara-negara (Barat) yang menjadi produsen ilmu tersebut.
Ilmu komunikasi Islam yang hangat diperbincangkan akhir-akhir ini terutama menyangkut teori dan prinsip-prinsip komunikasi Islam, serta pendekatan Islam tentang komunikasi. Titik penting munculnya aktivisme dan pemikiran mengenai komunikasi Islam ditandai dengan terbitnya jurnal “Media, Culture and Society” pada bulan Januari 1993 di London. Ini semakin menunjukkan jati diri komunikasi Islam yang tengah mendapat perhatian dan sorotan masyarakat tidak saja di belahan negara berpenduduk Muslim tetapi juga di negara-negara Barat. Isu-isu yang dikembangkan dalam jurnal tersebut menyangkut Islam dan komunikasi yang meliputi perspektif Islam terhadap media, pemanfaatan media massa pada era pascamodern, kedudukan dan perjalanan media massa di negara Muslim serta perspektif politik terhadap Islam dan komunikasi.
Komunikasi Islam berfokus pada teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh para pemikir Muslim. Tujuan akhirnya adalah menjadikan komunikasi Islam sebagai komunikasi alternatif, terutama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang bersesuaian dengan fitrah penciptaan manusia. Kesesuaian nilai-nilai komunikasi dengan dimensi penciptaan fitrah kemanusiaan itu memberi manfaat terhadap kesejahteraan manusia sejagat. Sehingga dalam perspektif ini, komunikasi Islam merupakan proses penyampaian atau tukar menukar informasi yang menggunakan prinsip dan kaedah komunikasi dalam Alquran. Komunikasi Islam dengan demikian dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Alquran dan Hadist.
Teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek normative dan historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat bersifat premature universalismdan naïve empirism. Dalam konteks demikian Majid Tehranian, menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama implikasinya dalam konteks kehidupan komunitas lain yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic world-view    yang selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim.
Dalam aspek perubahan sosial dan pembangunan masyarakat, komunikasi Barat cenderung bersifat positivistik dan fungsional yang berorientasi kepada individu, bukan kepada keselurusan sistem sosial dan fungsi sosiobudaya yang sangat penting untuk merangsang terjadinya perubahan sosial. Kualitas komunikasi menyangkut nilai-nilai kebenaran, kesederhanaan, kebaikan, kejujuran, integritas, keadilan, kesahihan pesan dan sumber, menjadi aspek penting dalam komunikasi Islam. Oleh karenanya dalam perspektif ini, komunikasi Islam ditegakkan atas sendi hubungan segitiga (Islamic Triangular Relationship), antara “Allah, manusia  dan masyarakat”.
Dalam Islam prinsip informasi bukan merupakan hak eksklusif dan bahan komoditi yang bersifat    value-free, tetapi ia memiliki norma-norma, etika dan moral imperatif yang bertujuan sebagai service membangun kualitas manusia secara paripurna. Jadi Islam meletakkan inspirasi tauhid sebagai parameter pengembangan teori komunikasi dan informasi. Alquran menyediakan seperangkat aturan dalam prinsip dan tata berkomunikasi. 
Di samping menjelaskan prinsip dan tata berkomunikasi, Alquran juga mengetengahkan etika berkomunikasi. Dari sejumlah aspek moral dan etika komunikasi, paling tidak terdapat empat prinsip etika komunikasi dalam Alquran yang meliputi fairness (kejujuran),     accuracy (ketepatan/ketelitian), tanggung jawab dan kritik konstruktif. Dalam surah al-Nur ayat 19 dikatakan:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita), perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui”.   
Sehubungan dengan etika kejujuran dalam komunikasi, ayat-ayat Alquran memberi banyak landasan. Hal ini diungkapkan dengan adanya larangan berdusta dalam surah an-Nah ayat 116:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”.
Dalam masalah ketelitian menerima informasi, Alquran misalnya memerintahkan untuk melakukan         check and recheck terhadap informasi yang diterima. Dalam surah al-¦Hujurat ayat 6 dikatakan:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. Menyangkut masalah tanggungjawab dalam surah al-Isra’ ayat 36 dijelaskan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawab-nya”. Alquran juga menyediakan ruangan yang cukup banyak dalam menjelaskan etika kritik konstruktif dalam berkomunikasi. Salah satunya tercantum dalam surah Ali-Imran/3 ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Begitu juga menyangkut isi pesan komunikasi harus berorientasi pada kesejahteraan di dunia dan akhirat, sebagaimana dijelaskan dalam sural al-Baqarah ayat 201: “Dan di antara mereka ada orang yang mendo’a: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Selain itu, prinsip komunikasi Islam menekankan keadilan (‘adl) sebagaimana tertera dalam surah an-Nahl ayat 90, berbuat baik (ihsan) dalam surah Yunus ayat 26, melarang perkataan bohong dalam surah al-hajj ayat 30, bersikap pertengahan (qana’ah) seperti tidak tamak, sabar sebagaimana dijelaskan pada surah al- Baqarah ayat 153, tawadu’ dalam surah al-Furqon ayat 63, menunaikan janji dalam surah al-Isra’ ayat 34 dan seterusnya. Membangun paradigma komunikasi Islam, sesungguhnya tidak harus dimulai dari nol. Dasaran sintesisnya dapat menggunakan teori-teori komunikasi konvensional (Barat), namun yang menjadi homework bagi para intelektual Muslim adalah membuat sintesis baru melalui aspek methatheory yang meliputi epistemologi, ontologi dan perspektif. Pembenahan pada aspek dimensi nilai dan etika harus dapat berkolaborasi dengan ketauhidan dan tanggungjawab ukhrawi. Fungsi komunikasi Islam adalah untuk mewujudkan persamaan makna, dengan demikian akan terjadi perubahan sikap atau tingkah laku pada masyarakat Muslim. Sedangkan ultimate goal dari komunikasi Islam adalah kebahagiaan hidup dunia dan akhirat yang titik tekannya pada aspek komunikan bukan pada komunikator.
C.        Tantangan Komunikasi Islam pada Era
Globalisasi Informasi
Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam Abad 21, diterjemahkan dari judul aslinya “Information and the Muslim Wold: A Strategy for the Twenty-first Century”, oleh A.E. Priyono dan Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1989.
Menurut Ziauddin Sardar revolusi informasi kini sedang dijajakan sebagai suatu rahmat bagi umat manusia. Penjajaannya di televisi, suratkabar, dan majalah yang mewah begitu agresif dan menarik.25 Namun Sardar mempertanyakan apakah semua perkembangan informasi ini sungguh-sungguh bisa melahirkan sebuah masyarakat yang lebih baik? Apakah melimpah ruahnya teknologi informasi mengandung makna bahwa kita lebih mampu mengendalikan masa depan? 
Secara paradoks, abad informasi adalah upaya untuk meningkatkan pengendalian manusia atas kehidupan, tapi kenyataannya justru menghasilkan efek terbalik. Bagi dunia Muslim, revolusi informasi menghadirkan tantangan-tantangan khusus yang harus diatasi demi kelangsungan hidup fisik maupun budaya umat. Menghadapi teknologi-teknologi informasi yang baru itu ibarat melintasi sebuah padang ranjau. Kemajuan teknologi di bidang komunikasi telah mengantarkan alat komunikasi massa dapat menjalankan fungsinya secara baik. Tetapi di balik itu dalam menjalankan fungsi tersebut sering terjadi pelanggaran terhadap nilai-nilai yang ada.
Beberapa tantangan yang dapat diidentifikasi pada era globalisasi dan informasi bagi perkembangan dan pembangunan Komunikasi Islam di masa depan adalah sebagai berikut:
Pertama, keberadaan publikasi informasi merupakan sarana efektif dalam penyebaran isu. Kekuatiran terhadap terjadinya stereotype dan subordinasi komunitas tertentu menjadi masalah utama dalam era globalisasi informasi ini. Hal ini disebabkan pada era ini terjadi      intercultural dan international communication (komunikasi internasional dan antarbudaya). Komunikasi antar budaya diartikan sebagai komunikasi antara manusia yang berbeda budayanya, sedang komunikasi internasional merupakan proses komunikasi antar bangsa yang secara fisik dipisahkan oleh batas-batas teritorial negara.
Masalah yang dihadapi dalam proses komunikasi seperti ini adalah timbulnya sikap curiga terhadap ras, budaya dan Negara lain. Setiap etnis atau suku bangsa memiliki latar belakang, perspektif, pandangan hidup, cita-cita dan bahasa yang berbeda, namun proses komunikasi informasi pada era ini berpretensi menyeragamkan berbagai latar belakang di atas, sehingga berpotensi menimbulkan ekses chaos dalam dinamika masyarakat. Komunikasi Islam dihadapkan pada pertarungan ideologi dan pemikiran untuk seterusnya mempengaruhi sekaligus membentuk public opinion tentang Islam dan Umat Islam, dalam rangka mengcounter isu-isu negatif informasi Barat tentang dunia Islam.
Kedua, dalam banyak aspek keperkasaan Barat dalam dominasi dan imperialisme informasi pada era ini menimbulkan sekularisme, kapitalisme, pragmatisme dan sebagainya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi konsep bangunan komunikasi Islam di masa depan untuk mengeleminir seluruh nilai-nilai komunikasi informasi yang bertentangan dengan nilai luhur Islam.
Ketiga, dari sisi pelaksanaan komunikasi informasi, ekspose persoalan-persoalan seksualitas, peperangan dan tindakan criminal lainnya mendatangkan efek yang berbanding terbalik dengan tujuan komunikasi dan informasi itu sendiri. Masyarakat dihadapkan pada berbagai informasi yang bertendensi patologis sehingga perilaku masyarakat juga cenderung sebagaimana dilihat, didengar dan disaksikannya. Amat disayangkan gencarnya terpaan media massa dalam proses komunikasi memberi banyak masalah dalam kehidupan Muslim. Di tambah lagi, tayangan-tayangan tertentu media massa oleh sebagian ulama masih diperdebatkan soal halal dan haramnya. Tantangan komunikasi Islam dalam konteks ini bagaimana menghadirkan isi pesan komunikasi yang sekuen dengan fungsi komunikasi itu sendiri, yakni to inform, to educate, dan to entertain. Kesemuan fungsi ini adalah untuk mewujudkan kesamaan makna sehingga mendorong terciptanya perubahan sikap atau tingkah laku masyarakat Muslim untuk kepentingan mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Keempat, lemah sumber daya modal maupun kualitas negara-negara Muslim memaksa masyarakat Muslim mengimport teknologi komunikasi informasi dari dunia Barat. Bersamaan dengan itu adopsi nilai tidak bisa dihindarkan. Hampir semua negara-negara Muslim menggantungkan diri dari software maupun hardware dari negara-negara Barat. Dalam sistem Barat menurut Hamid Mowlana dalam Jurnal Media, Culture & Society, komunikasi informasi dipandang sebagai komoditi, bukan moral atau etika. Ini mengakibatkan Barat mengekspor ideologi sekuler yang menjadi
inti terwujudnya the information society dalam era the new global order. Tantangan komunikasi Islam pada era ini adalah mewujudkan komunikasi yang berbasis moral dan etika untuk kesejahteraan umat manusia, bukan hanya sebagai komoditi
kekuasaan.
Peluang Pengembangan Komunikasi Islam Di Masa Depan
Ziauddin Sardar mengatakan, informasi bukanlah sesuatu yang baik atau buruk. Adalah pemakainya yang membuat benar atau salahnya penggunaan informasi tersebut. Sains tidaklah membawa mudarat, mudaratnya berasal dari orang yang menggunakannya. Lebih lanjut Sardar menjelaskan bahwa semua tipe informasi saling berkaitan dan saling bergantung, terutama dari matriks ilmu pengetahuan tentang masyarakat, yang bertindak sebagai pemandu dan yang memberikan peta kehidupan dan lingkungan manusia. 
Ilmu pengetahuan tentang masyarakat dipengaruhi oleh empat jenis sistem penginformasian yang membentuk sifat dan karakternya. Pertama, weltanschauung (pandangan dunia), merupakan sistem penginformasian yang terluas, mengaitkan kosmologi dengan etika, dan bisa berorientasi teistik maupun non-teistik. Kedua, pengetahuan tentang masyarakat (nasionalisme). Ketiga, lembaga-lembaga sosial. Keempat, filsafat pribadi. 
Keempat sistem penginformasian ini membentuk ilmu pengetahuan tentang masyarakat. Dengan demikian, informasi tidak akan pernah menjadi netral, ia diciptakan dalam batas-batas tertentu untuk   melayani kebutuhan-kebutuhan nasional, internasional, ataupun pribadi tertentu. Ketika berurusan dengan informasi, kita harus menyadari hakikatnya yang sejati. Kita harus menyadari sistem-sistem penginformasian yang terlibat dalam kemunculannya. Informasi itu sendiri adalah suatu proposisi atau proposisi-proposisi yang multidimensional dengan komponen- komponen yang absolut, dan objektif, sebagai juga subjektif dan kultural, yang disaring, baik secara deduktif maupun induktif, dari data mentah yang dihimpun, diseleksi, dan diorganisasikan, berdasarkan suatu pandangan dunia, kebutuhan nasional, tuntutan-tuntutan kelembagaan, dan filsafat pribadi, untuk memperbesar kemanfaatannya dalam pengambilan keputusan, perencanaan, dan  pencapaian tujuan. Jadi peluang pengembangan komunikasi Islam pada masa depan adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam perspektif Islam, perlulah disadari bahwa informasi akan mempunyai arti hanya bila ia berada dalam kerangka pengetahuan tentang masyarakat, hanya bila komponen sasarannya selaras dengan aspek-aspek mutlak, substitusional, kultural dan subjektif suatu masyarakat, barulah informasi akan dapat memberikan sumbangan positif kepada masyarakat itu sendiri. Keselarasan semacam ini akan dapat terjadi bilamana negera-negara Muslim menghasilkan informasi mereka sendiri dengan perlengkapan relevan yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan para pembuat keputusan dan komunitas-komunitas mereka. Strategi informasi bagi dunia Muslim harus didasarkan pada kesadaran ini.
Kedua, adanya perubahan dari era industri menuju era informasi menyangkut orientasi masyarakat yang menjurus kepada masalah ekonomi, dalam bidang informasi dan komunikasi ini akan mendatangkan kesempatan kerja (job opportunity) bagi masyarakat Muslim. Banyaknya profesi yang harus diisi dalam bidang informasi baik di sektor jasa (misalnya programmer, reporter radio dan televisi, juru kamera, illustrator, penyunting gambar dan berita, tenaga di bidang periklanan, kehumasan, pengolahan dan pemprosesan data dan sebagainya), maupun dalam sektor industri dan menangani pekerjaan di bidang informasi, menghabiskan waktu untuk merencanakan, memproses dan mendistribuskan informasi.
Ketiga, pada masa depan komunikasi Islam itu dapat dikembangkan dengan memperhatikan tujuh konsep pokok Islam yang mempunyai kaitan langsung dengan penciptaan dan penyebaran informasi, yakni  tauhid  (keesaan), ‘ilm (ilmu pengetahuan), hikmah (kebijakan), ‘adl (keadilan), ijma’ (konsensus), syura (musyawarah), istislah            (kepentingan umum), dan ummah (komunitas Muslim sejagad).
Seluruh konsep informasi ini dimaksudkan sebagai katalisator bagi pembangunan dan perantara perubahan sosial. Ia diharapkan akan dapat memajukan kemandirian dan partisipasi masyarakat, serta membawa suatu masyarakat ke arah keadilan sosial dan keotentikan kultural. Sebagai katalis sosial, agen-agen dan jasa-jasa informasi tidak memainkan peranan yang tidak memihak pada tujuan, pekerjaan mereka adalah untuk menggerakkan perubahan yang diinginkan dan membantu masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan.
Keempat,  peluang eksistensi komunikasi Islam pada masa depan tentu saja berangkat dari historis empirikal. Selama abad pertama Islam, tradisi lisan merupakan sarana utama dalam menyebarkan informasi. Namun segera diketahui bahwa ingatan
tidak dapat diandalkan sepenuhnya, sehingga catatan tertulispun mulai berlaku di antara para penuntut ilmu pengetahuan. Pada masa-masa selanjutnya, buku sebagai suatu catatan terpadu atas pikiran, mulai muncul dan berkembang. Dalam periode ini buku sudah menjadi sarana yang umum dan banyak digunakan untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan informasi.











BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Dari uraian dan materi diatas dapat disimpulkan bahwa Komunikasi Perspektif Islam dapat didefenisikan sebagai proses penyampaian nilai-nilai Islam dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan prinsip-prinsip komunikasi yang sesuai dengan Alquran dan Hadis. Teori-teori komunikasi yang dikembangkan oleh Barat lebih menekankan aspek empirikal serta mengabaikan aspek normatif dan historikal. Adapun teori yang dihasilkan melalui pendekatan seperti ini sangat bersifat premature universalism. 
             Dalam konteks demikian Majid Tehranian,   menguraikan bahwa pendekatan ini tidak sama implikasinya dalam konteks kehidupan komunitas lain yang memiliki latar belakang yang berbeda. Sehingga dalam perspektif Islam, komunikasi haruslah dikembangkan melalui Islamic world-view yang selanjutnya menjadi azas pembentukan teori komunikasi Islam seperti aspek kekuasaan mutlak hanya milik Allah, serta peranan institusi ulama dan masjid sebagai penyambung komunikasi dan aspek pengawasan syariah yang menjadi penunjang kehidupan Muslim. 

B.           Saran
Komunikasi sangat penting bagi manusia, beberapa fungsi komunikasi adalah untuk   menjalin silaturahmi antar sesama dan menyampaikan informasi. Tali siraturahmi tidak boleh sampai terputus antara satu dengan yang lain, serta dalam menyampaikan informasi harus sesuai dengan fakta yang ada.  


DAFTAR PUSTAKA
Agutian, Ary Ginanjar, The ESQ Way 165, Jakarta: Arga Publishing, 2010
          (Saefullah, Ujang. 2007. Kapita Selekta Komunikasi, Pendekatan Budaya dan Agama.
Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam Abad 21, diterjemahkan dari judul aslinya “Information and the Muslim Wold: A Strategy for the Twenty-first Century”, oleh A.E. Priyono dan Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1989.
Amir, Mafri. Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Al Qur’an


Comments

Popular posts from this blog

Contoh Surat Penolakan Kerjasama

Penggorganisasian, Pelaksanaan, Koordinasi, Wewenang & Tanggung Jawab

Contoh Percakapan Bahasa Jepang